masukkan script iklan disini
![]() |
Dana BOS Rp4,2 M Digorok? Pengadaan Buku SD-SMP di Takalar Disorot Sarat Korupsi dan Kepentingan Politik |
TAKALAR, SUARARAKYAT – Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang seharusnya menopang pendidikan justru diduga menjadi bancakan kelompok tertentu. Di Kabupaten Takalar, proyek pengadaan buku pendamping untuk SD dan SMP senilai Rp4,2 miliar dari Dana BOS Tahun 2025 kini terjerat skandal: mulai dari markup harga, gratifikasi, hingga aroma kepentingan politik.
Seluruh buku dalam proyek ini disebut dipatok dengan harga Rp62.000 per eksemplar, tanpa memperhitungkan jumlah halaman, kualitas cetakan, atau isi materi. Praktik ini langsung menuai kecaman dari kalangan aktivis antikorupsi.
“Ini bukan sekadar kelalaian, ini indikasi penggelembungan harga yang sistematis. Jangan jadikan dana pendidikan sebagai ladang bancakan,” tegas Ramzah Thabraman, Wakil Ketua DPN Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK), Senin (23/6).
Lebih mencurigakan lagi, pengadaan buku ini tetap dipaksakan meski pemerintah pusat tengah menggulirkan wacana perubahan kurikulum nasional. Hal ini membuat pengadaan buku dinilai tidak relevan dan terkesan dipaksakan.
“Logikanya, jika kurikulum akan diganti, kenapa terburu-buru membeli buku yang bisa jadi tak terpakai?” ujar seorang pengamat pendidikan yang enggan disebut namanya.
GNPK juga mengungkap sejumlah proyek sekolah lain yang tak kalah janggal, seperti pengadaan buku Amaliah Ramadan, foto bupati dan wakil bupati, hingga papan bicara sekolah semuanya dibiayai dari Dana BOS. Proyek-proyek itu dinilai lebih beraroma politis ketimbang mendukung proses belajar-mengajar.
“Uang BOS itu milik siswa, bukan untuk alat kampanye atau proyek pencitraan,” tegas Ramzah.
Menanggapi polemik ini, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) menyatakan siap turun tangan jika ada laporan resmi yang masuk.
“Kalau ada laporan, tentu akan kami terima dan pelajari. Bila ditemukan indikasi tindak pidana, pasti kami tindak lanjuti,” ujar Soetarmi, SH, MH, Kasi Penerangan Hukum Kejati Sulsel.
Tak hanya soal anggaran, GNPK menyebut banyak kepala sekolah dipaksa menandatangani persetujuan proyek, tanpa kejelasan vendor, rincian harga, atau kebutuhan yang mendesak. Mereka diduga hanya dijadikan stempel legalitas atas proyek yang telah dikondisikan dari atas.
Kini, bola panas berada di tangan aparat penegak hukum. Akankah Kejati Sulsel berani membongkar dugaan korupsi pendidikan yang sistemik ini? Ataukah kasus ini hanya akan menjadi catatan hitam baru dalam sejarah korupsi anggaran di negeri ini?
Satu hal yang pasti: pendidikan bukan komoditas, dan Dana BOS bukan celengan politik. Di saat anak-anak menanti buku dan ilmu, segelintir elite justru menulis bab mereka sendiri tentang kekuasaan, pencitraan, dan kerakusan.
“Kami tidak akan berhenti sampai kasus ini dibuka dan diadili,” tutup Ramzah. (TIM)