masukkan script iklan disini
![]() |
Ribuan warga yang telah puluhan tahun mendiami pulau-pulau di Kawasan Taman Nasional Takabonerate |
SUARARAKYAT, SELAYAR – Ribuan warga yang telah puluhan tahun mendiami pulau-pulau di Kawasan Taman Nasional Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, hingga kini belum memiliki kepastian hukum atas tanah yang mereka tempati. Bahkan, status lahan yang digunakan untuk fasilitas pemerintah desa pun dipertanyakan.
Berdasarkan data, sedikitnya 7.530 jiwa tersebar di 11 pulau berpenghuni seperti Pulau Rajuni Bakka, Rajuni Kiddi, Latondu, Tarupa, Jinato, Tambuna, dan Pasitallu Timur. Total luas lahan yang digunakan masyarakat mencapai ±1.350 hektare untuk permukiman, perikanan, dan kegiatan ekonomi, sementara lahan untuk kantor desa, fasilitas pendidikan, kesehatan, lapangan, dan rumah ibadah mencapai ±78 hektare.
Namun, hingga saat ini, sebagian besar bidang tanah tersebut belum memiliki sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kondisi ini menimbulkan sejumlah persoalan seperti potensi konflik lahan, transaksi ilegal antarwarga, serta hambatan dalam pembangunan desa.
“Kami sudah tinggal di sini puluhan tahun, membangun desa, sekolah, bahkan kantor desa di atas tanah yang statusnya belum jelas. Pemerintah harus hadir memberikan kepastian,” ujar Saleh, salah satu warga Takabonerate.
Penelusuran di lapangan juga menemukan kasus jual beli tanah tanpa dokumen resmi dan kantor-kantor pemerintah desa yang belum memiliki sertifikat hak pakai. Meskipun beberapa warga sempat memperoleh sertifikat melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), program tersebut kini tidak lagi berjalan di kawasan Takabonerate.
Takabonerate merupakan atol terbesar ketiga di dunia, dengan luas 530.765 hektare, yang memiliki nilai ekologis tinggi sekaligus tantangan besar dalam pengelolaan ruang antara konservasi dan hak masyarakat.
Tokoh masyarakat Takabonerate menegaskan pentingnya percepatan sertifikasi tanah. “Sertifikasi tanah bukan sekadar legalitas, tapi juga perlindungan hak masyarakat adat dan jaminan pembangunan desa ke depan.”
Dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan kebutuhan ruang yang semakin besar, masyarakat mendesak pemerintah pusat segera menurunkan tim terpadu untuk menyelesaikan persoalan ini guna menghindari potensi konflik agraria di masa depan.